Sunday, January 15, 2006

SIMPLICITY

Suatu hari dalam perjalanan ke Jakarta dengan bis antar kota, kelas ekonomi yang penuh sesak, saya termasuk mereka yang tidak beruntung. Berdiri sepanjang perjalanan karena risih duduk nyaman padahal ada ibu yang menggendong anak yang lagi rewel, merengek kegerahan. Kurang nyaman dengan ajakan perkenalan seorang bapak tua, tapi kurang sopan juga kalau memperlihatkan wajah suntuk dan malas. Berarti memang bukan kebiasaan saya untuk menjalin percakapan dengan orang baru, apalagi dalam perjalanan. Mengingat kejadian ini terjadi kira-kira 10 tahun lalu. Awalnya standar, si bapak bertanya tujuan perjalanan saya. Saya jawab sekadarnya, sambil berharap percakapan tak usah diperpanjang. Tapi nampaknya si bapak tua termasuk orang yang gemar bercerita dan bernasihat. Percakapan berlanjut ke hal-hal yang lebih filosofis tentang hidup (bayangin, anak 16 taun diajakin ngobrol soal filosofi hidup... Hwaduuuhhh...). Ternyata menyenangkan. Dan saya menyesal tidak sempat bertanya lebih banyak karena dia keburu turun di daerah Bogor. Dibalik kesederhanaan stelan kemeja, celana kain dan topi petnya, ada best quotes yang melekat di benak saya sampai sekarang (terus terang, sempat terlupakan, dan malam ini tiba-tiba saya diingatkan lagi dengan quote itu). Singkat saja : SIMPLICITY IS THE BEST WAY TO LIVE. He said exactly like that.

Kata-kata itu membuat saya tercenung lama sambil memandang ke luar jendela. Percakapan berakhir tepat di kalimat itu. Dia belum keburu turun, tapi saya yang dibuat speechless dengan 7 kata itu. Mungkin masih terpengaruh dengan kematian Ayah saya tidak lama sebelumnya, saya jadi teringat sosok Papi. Kalau beliau masih hidup, mungkin itu yang akan dinasihatkan pada anak bungsunya yang (waktu itu) masih ABG, rentan hedonisme. Caranya bicara, seperti golongan terpelajar jaman perjuangan kemerdekaan. Caranya menasihati, cenderung mendoktrin. PAPI BANGET. Waktu itu saya sempat bertanya pada diri sendiri, kenapa saya diberi pengalaman seperti ini di tengah perjalanan dalam bis antar kota yang penuh sesak? Tapi terutama KENAPA NASIHAT ITU HARUS SAYA DENGAR? Is it because the right time? Jadi, barangkali sekarang juga saat yang tepat ketika saya ingat lagi kejadian itu, best quote itu menempel lagi di kepala. Like exactly what he said.

Selama ini saya sudah lupa dengan kata SIMPLICITY. Saya berjalan jauh tanpa panduan satu kata itu. Bisa jadi hal yang disengaja, dengan sebutan takdir, jika apa yang saya alami belakangan ini adalah sebuah puzzle dengan terlalu banyak probabilitas. Tapi saya lupa bahwa SIMPLICITY IS THE BEST WAY TO LIVE. Jalan keluar yang terpikirkan terlalu kompleks, terlalu menelisik jauh ke probabilitas yang paling nihil sekalipun. Yang akhirnya membuat saya tidak kemana-mana. Saya menjadi terlalu takut salah. Saya menjadi terlalu takut sakit. Saya menjadi terlihat terlalu stabil. In the end, i am, my self, who become the most guilty one, because of my rightness.

Sebenarnya untuk apa berpikir terlalu jauh? Untuk apa memikirkan terlalu banyak hal? Saya terseret jauh dari apa yang saya butuhkan sendiri sebagai seorang manusia. Kalau ada pertanyaan : APA, SIAPA, BAGAIMANA, KAPAN tentang sesuatu yang saya inginkan, butuhkan, hmmm saya bisa jawab apa ya? Terlalu termakan dogma. Terlalu complicated. Tidak. Saya ingin kesederhanaan itu lagi.

1 Comments:

At 8:47 PM, Anonymous Anonymous said...

Dibalik semua kerumitan masalah, kalo di runut dan diretas, ternyata terdiri dari kesederhanaan. Yang dibutuhkan hanya KESABARAN, itu yang terkadang kita tidak miliki.

 

Post a Comment

<< Home