Apa yang kita katakan bisa jadi ukuran kerendahan hati, tata krama, kesembronoan, kesombongan, bahkan ketidakpedulian. Diantara sekian banyak vocabulary yang dipake setiap hari, lagi ngerasa bosen sama dua kata : MAAF dan TERIMA KASIH. Ooo my god, dua kata itu sangat ambigu. Tidak terukur seberapa dalam, ga ketauan seberapa tulus keluar dari hati. Seringkali dua kata itu dipaksakan keluar, karena "memang sudah seharusnya" menurut nilai sosial dan sopan santun, karena ingin mengambil hati, sebagai alat komunikasi basa-basi, atau cuma agar masalah cepat selesai. Tapi efeknya dari dua kata sakti itu selalu sama : menentramkan dan menyenangkan. Melegakan juga.
Kadang-kadang terpikir, keberadaan kedua kata itu layaknya aksesoris pemanis yang biasa dipakai wanita. Fungsinya hanya untuk kepantasan dan keindahan. Seringkali demi prestise. Hmm tapi kok terlalu skeptis ya... Jadi, ya memang saya hanya sedang lelah dan bosan dengan dua kata itu. Dua kata yang sederhana tapi arti dan maknanya sangat kompleks. Gimana jadinya kalau dua kata itu terucap sebagai sindiran, yang kalau diterjemahkan bunyinya jadi seperti ini : "gila lo ya, cuma gara-gara yang beginian lo ngambek sampe begini? Maaf deh... MAAFFFF" atau "Hah? Lo pikir gue mau yang beginian? Ya makasih deh... MAKASIH BANGETTT!!!" Hahaha... Jadinya satire.
Kenapa jadi bisa terjadi pergeseran (atau mungkin pengayaan) makna, ya gara-gara manusia yang pake. Dengan frame of reference dan frame of experience nya satu kata bisa punya makna lain, yang mungkin buat kebanyakan orang "HAH??? APAAN SIH???" Kalo punya kalkulator survey otomatis di dalam kepala ini, rasanya dua kata ini juga yang paling sering diucapkan, selain kata IBU (kalo yang ini menurut survey beneran). Yaa tidak berarti teori ini cocok buat semua orang. Ini SANGAT COCOK dengan saya. Maaf dan Terima Kasih, diproduksi gila-gilaan dari mulut ini. Sampe kadang-kadang mikir : ih buat apa sih gue minta maaf segala, berlebihan... Atau : ya ampun, emang ga ada kata lain selain terima kasih ya... basa basi banget sih gue...
Ada syarat agar dua kata itu akan sangat tulus dan menyenangkan kedengarannya jika diikuti dengan gesture tertentu. Kepala tertunduk, garis bibir diusahakan sedatar mungkin kalau ga bisa dipaksa melengkung ke bawah, alis sedikit turun, mata sayu, adalah beberapa gesture yang biasanya dipakai untuk menunjukkan betapa menyesalnya kita hingga harus dan merasa WAJIB minta maaf. Senyum lebar, anggukan kepala, lonjakan gembira, (kalo mau berlebihan) dan teriakan histeris, bisa membuat rasa terima kasih ditanggapi dengan semestinya.
Belum lagi intonasi suara. Ga mungkin dong bilang maaf sambil teriak girang. Atau terima kasih diucapkan dengan datar. Ga cocok. Kaya pake parfum, mau ke acara resmi ya hindari wangi-wangi manis permen dan gula-gula. Ah... Bicara apa sih...
Tapi saktinya dua kata itu adalah tanpa disertai tetek bengek gesture dan intonasi tertentu pun, kalo udah keluar dari mulut, it's like taken for granted. Ga peduli tulus atau basa-basi, menyesal atau malas cari masalah, gembira atau acting. Masak orang minta maaf ga dimaafin. Masak orang bilang terima kasih kitanya lempeng aja. Rantai basa-basi berlanjut sampai tak terhingga.
Jadinya sulit meyakinkan kalo kita bener-bener menyesal dengan kesalahan kita. Susah bikin orang tau kalo kita seneng setengah mati dengan apa yang dia berikan. Kesaktian dua kata itu memudarkan sensasinya.
Aku, tak mau dua kata itu keluar hanya sebagai kewajiban. Aku mau orang tau aku benar-benar merasakan. Jadi... hemat-hemat dulu ah, ga ngobral dua kata itu dulu. Even no for just making others love me.